Menyibak Tabir Peluang Bisnis 2007
Kamis, 04 Januari 2007
Oleh : Joko Sugiarsono
Meski kondisi perekonomian nasional menunjukkan tanda-tanda perbaikan, banyak kalangan ekonom dan praktisi bidang finansial yang melihat prospeknya dengan hati-hati. Apa saja sektor/bidang bisnis yang diprediksi prospektif dan semenarik apa peluang yang bakal muncul?
Anda jangan heran bila menemukan ada perbedaan pandangan di antara investor atau pemilik dana dalam melihat prospek investasi di Indonesia tahun 2007. Yang memandang optimistis kebanyakan adalah investor portofolio yang melakukan investasi dengan membeli obligasi, saham ataupun instrumen pasar modal lainnya. Alasannya tak lain adalah membaiknya indikator makroekonomi Indonesia, seperti tingkat inflasi yang turun, rupiah stabil, suku bunga mulai turun, neraca perdagangan membaik, dan cadangan devisa naik. Sementara yang pesimistis umumnya adalah investor yang melakukan investasi langsung (direct investment), misalnya dengan mendirikan pabrik atau membuka lahan perkebunan. “Mereka (direct investor) itu banyak keluhannya lantaran investasi mereka berjangka panjang dan betul-betul membangun pabrik,” ujar Fauzi Ichsan, VP Senior Head of Government Relations dan Economist Standard Chartered Bank (Stanchart), mengungkapkan kesaksiannya.
Lebih lanjut, ekonom muda ini menyebutkan pada dasarnya terdapat 6 keluhan pokok para investor yang terjun ke sektor riil, yakni: masalah kepastian hukum; otonomi daerah; perburuhan; infrastruktur; perpajakan; dan bea cukai. “Enam kendala ini yang membuat investasi di sektor riil lambat pertumbuhannya,” ujar putra Poppy Dharsono ini. Ia menyebutkan kalau tahun ini perekonomian bisa tumbuh (5,5%) lebih karena digerakkan oleh ekspor barang komoditas yang harga internasionalnya naik, bukan karena pertambahan volume produksi. Sementara itu, pertumbuhan impor – bahan baku, barang modal, dan semacamnya – sangat rendah.
Banyaknya kendala investasi langsung di Indonesia bukan hanya ditemukan bank asing seperti Stanchart yang memang merekam kegalauan kalangan investor asing yang berminat ke Indonesia. Temuan para pakar dan institusi riset lokal malah menguak kenyataan yang lebih meresahkan. “(Presiden) SBY saja sampai kaget melihatnya,” ujar Faisal Basri, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, sambil menunjukkan jari ke monitor Sony Vaio-nya. Perihal yang mengagetkan sang presiden, menurut mantan Sekjen PAN itu, adalah sejumlah data mengenai kendala investasi di Indonesia pada 2005-2006 hasil survei LPEM UI pada kalangan pengusaha.
Wajar memang, presiden sampai terperangah. Sebagai doktor ekonomi pembangunan (dari Institut Pertanian Bogor), SBY mestinya tahu persis ada tanda-tanda ketidakberesan yang bakal menjadi ancaman niat kabinetnya menggairahkan iklim investasi. Simak saja, dari 22 indikator kendala investasi, hanya tiga indikator yang tak memburuk pada 2006 (dibanding 2005), yakni: stabilitas makroekonomi, korupsi di pemda, dan praktik monopoli. Indikator lainnya – yang lebih banyak – memburuk, antara lain: ketidakpastian kebijakan ekonomi; biaya pendanaan; transportasi; korupsi di pemerintah pusat; sistem hukum; administrasi dan biaya pajak; perizinan (di pemda ataupun pemerintah pusat); peraturan perburuhan (pemda ataupun pemerintah pusat); kriminal dan huru-hara; dan sebagainya.
“Itu semua permasalahan kalau ada orang mau bikin pabrik. Transportasi susah, hukum susah, pajak susah, buruh susah. Lantas kalau orang mau invest di Indonesia, mau invest di mana?” Faisal menegaskan. Ia menunjukkan sebagian buktinya, seperti P&G yang sudah menutup pabriknya, dan Toyota yang tinggal menyisakan produksi mobil Kijang-nya di sini. Di sisi lain, produk impor (baik legal maupun ilegal) seperti tekstil, makanan dan aneka consumer goods dari negara lain makin membanjiri Indonesia.
Peluang Bisnis dan Peluang Usaha Halal Di Indonesia
No comments:
Post a Comment